Kegalauan hati menyongsong Natal pasti melanda banyak umat kristiani yang menjadi pengungsi. Mereka penjadi pengungsi akibat bencana yang tak pernah diduga. Porak poranda perjalanan kehidupan. Kehilangan harta, hingga orang yang tercinta. Tak terbilang besarnya duka yang melanda. Tak pula kita mampu mengukurnya, sekalipun coba berempati, tetap saja sangat terbatas apa yang bisa kita bagikan.
Bagaimanapun juga Natal telah menjadi warna tersendiri bagi umat kristiani. Kegiatan bergerak, dari belanja, hingga menghias pohon Natal dirumah. Begitu pula aneka asesoris yang mendadak menjadi sangat perlu. Semua kegiatan telah menjadi roh nya Natal. Tak salah berkegiatan, tetapi menjadi masalah besar karena ini telah menjadi roh yang salah. Kesalahpahaman terus membesar, mengakibatkan umat kehilangan makna natal. Dan, ini pula yang mengakibatkan bencana dianggap sebagai duka yang menodai semarak natal. Padahal, jika menelusuri perjalanan Natal, tak ada suasana semarak disana.
Bayangkanlah Maria yang hamil tua harus melakukan perjalanan panjang dari Nazaret menuju Betlehem. Jalan yang turun naik sama sekali tak bersahabat. Belum lagi kesunyian, diantara hiruk pikuk orang ba-nyak, yang berpacu dengan keinginan diri sendiri. Tak saling peduli satu dengan yang lainnya, menjadi kesunyian tersendiri.
Maria dan Yusuf tak mendapat prioritas karena kehamilan, bahkan sebaliknya menjadi yang terbelakang tiba di tujuan. Bukan itu saja, efek lanjutan semakin terasa, tak ada tempat untuk mereka di Betlehem. Namun semarak Natal tetap terwujud, bukan karena kemeriahan ase-soris atau kumpulan orang banyak. Tetapi terwujud karena hati yang bersukacita, sekalipun tamu hanyalah kelompok kecil gembala kelas bawah. Ya, itulah Natal, Tuhan berpihak pada umat yang diper-kenanNya. Sukacita yang datang dari surga. Inilah pesan sejati Natal.
Jangan lupa, kesibukan kota, aneka acara, dan rentetan Natal, bisa membuat kita kehilangan momentum sesungguh-nya. Sebaliknya, kedukaan yang menda-lam bisa menjadi pintu lebar memasuki makna sejati Natal. Saya sangat berharap, kawan-kawan yang mengalami musibah tak tenggelam bersama harta mereka yang hilang. Kesedihan memang rasa yang tak dapat dibohongi. Namun iman juga menjadi kekuatan yang tak terban-tah. Bukankah kekuatan Natal adalah perenungan.
Ingat perjalanan Yusuf dan Maria yang sedang mengandung. Dan, bukankah kedukaan menjadi penolong yang baik. Asal tak larut dalam kedukaan, itu bisa jadi alat bantu perenungan yang hebat. Ingatlah kisah Natal pertama, maka belajarlah menikmatinya, karena anda telah memiliki tanpa merancangnya. Banyak orang kota, orang berpunya, coba mendisain suasana, tetapi mereka hanya punya bayangan, bukan keutuhan. Inti Natal adalah mengalami pertemuan yang pribadi dengan Tuhan, merasakan kasihNya secara utuh, maka keadaan tak pernah menjadi penganggu.
Natal dibencana hidup adalah sebuah keniscayaan, bukan kenistaan. Sebaliknya, kita yang menduduki kota, yang aman tanpa becana, hati-hati jangan sampai dike-mapanan justru kita mengalami bencana terngeri karena kehilangan makna Natal. Harta, kedudukan masih kita miliki, tetapi Yesus Natal yang sejati tak lagi mampu kita imani seutuhnya. Tragedi Natal justru paling banyak terjadi di sana.
Ingat, para imam kepala, ahli taurat, yang tokoh agama, memilih tinggal di kenik-matan istana, sehingga tak pernah hadir di Natal sejati. Sebaliknya majus sikafir mengayunkan langkah menuju Betlehem kota kecil, dan bersuka cita karena Natal itu. Seharusnyalah kita terus menggali kebenaran ini. Sayangnya kita justru terbawa arus dunia yang memang semakin menggila.
Natal bukan apa yang anda punya, atau apa yang ada disekitar diri. Natal justru ketika kita merasa tak punya, sehingga Tuhan hadir disana, dihati kita. Semoga Natal ada di bencana hidup, supaya anda tak kehilangan untuk yang kedua kalinya. Sebaliknya, berimanlah da-lam kesungguhan, supaya anda mendapat-kan dikehilangan. Natal dibencana hidup, bagikan mutiara mahal dari lumpur kotor. Selamat hari Natal, selamat memaknainya.